Makalah Budaya dan Etika Dayah

Semoga postingan saya tentang makalah Budaya dan Etika Dayah yang juga bisa dipergunakan sebagai bahan kliping tentang mata kuliah tersebut. Untuk itu bagi sobat yang sedang mencari tentang hal yang saya maksud dan juga yang berkaitan dengannya atau hal-hal yang tidak jauh kepentinganya dengan permainan Budaya dan Etika Dayah. Untuk itu sobat bisa langsung mengintip kelengkapan makalah tersebut seperti di bawah ini, namun bila ada yang kurang dalam teknik penyusunan yang telah saya rangkai maka sobat juga tentunya dapat mengolah dengan mencari di website seperti lain wikipedia tentang budaya etika sehingga nantinya bisa sobat kombinasikan dengan yang sudah sobat temukan di sini.


Makalah Budaya dan Etika Dayah


==========================================




Budaya dan Etika Dayah


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dayah/Pesantren merupakan warisan sekaligus kekayaan kebudayaan intelektual bangsa Indonesia dalam rentangan sejarah masa lalu dan sekarang, dapat kita lihat besar peranannya dalam proses perkembangan sistem pendidikan nasional, di samping eksistensinya dalam melestarikan dan mempertahankan serta melestarikan ajaran-ajaran agama Islam.

Perjalanan dan liku-liku yang panjang, dayah/pesantren dengan berbagai keunikannya telah menyebabkan makin eksis, bahkan diramalkan oleh segenap akademisi dan pengamat pendidikan sebagai lembaga pendidikan alternatif yang mampu menjawab tantangan global, variasi tata nilai yang dimiliki penuh dengan kedinamisan akan tumbuh dan berkembang menurut situasi dan kondisi.

Secara historis, dayah/pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya dayah/pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi, budaya dan etika serta  sistem tersebut diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik (khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Di samping progresivitas dayah/pesantren menawarkan gagasan dan gerakan pembaharuan, religiusitasnya berhasil membangun kharisma dan pengaruh yang begitu besar. Religiusitas dayah/pesantren tampak dari budaya agamis "masyarakatnya" dalam hal ini santri. Ajaran dan nilai keagamaan yang terus menerus ditransformasikan melalui pendidikan membentuk sebuah budaya unik dan genuine.

Dalam sejarahnya, budaya dayah/pesantren itu mampu mengejawantah dalam realitas masyarakat. Pesantren, setidaknya, berhasil menyumbang tatanan nilai dan moral-etika yang kemudian dipegang masyarakat. Besarnya peran pesantren dalam membentuk tatanan budaya masyarakat memosisikannya sebagai basis segala aktivitas. Segala hal yang berkaitan dengan aspek agama, sosial, pendidikan, bahkan ekonomi dan politik




BAB II

PEMBAHASAN


A.      Budaya dan Etika Dayah/Pesantren
Secara etimologis, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kata budaya berasal dari kata budhayah, bahasa Sanskerta, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat dikatakan “hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.”2 Karena ia berkaitan dengan budi dan akal manusia, maka skupnya pun menjadi demikian luas. Koentjaraningrat kemudian menyatakan bahwa kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu: 1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai nilai, norma peraturan dan sebagainya. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas, kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.           

Berdasarkan pengertian tentang budaya yang demikian, maka setiap individu, komunitas dan masyarakat melalui kreasinya pun bisa menciptakan sebuah budaya tertentu Ketika kreasi yang diciptakan itu kemudian secara berulang, bahkan kemudian menjadi kesepakatan kolektif maka pada saat itu kreasi itu telah menjelma menjadi sebuah budaya. Salah satu komunitas yang mampu membentuk budaya yang khas adalah dayah/pesantren.

Secara garis besar, tipologi dayah/pesantren bisa dibedakan paling tidak menjadi tiga jenis, walaupun agak sulit untuk membedakan secara ekstrim diantara tipe-tipe tersebut yaitu salafiyah (tradisional), khalafiyah (modern) dan terpadu.

Berpijak pada pemikiran seperti ini, seluruh rangkaian kegiatan santri di pondok ini dipadu dalam sebuah program kegiatan santri baik yang dilakukan dengan metode klasikal madrasiyyah ataupun ma’hadiyyah. Bahkan kegiatan-kegiatan penting lainnya, sebagai bentuk pembiasaan dan pembangunan karakter santri, menjadi tulang punggung bagi arah keberhasilan santri di dayah/pesantren. Memperhatikan hal tersebut di atas, ada hal penting yang perlu dicermati sebagaimana yang pernah nyatakan oleh para peneliti pesantren. Tujuan belajar di pesantern adalah tafaqquh fi’l-dīn. Yaitu mempelajari ilmu agama secara mendalam.

Meski demikian, aspek ajaran yang memuat moralsufistik juga menjadi hal yang terpadu, integrated, dengan ilmu-ilmu di atas. Dalam arti yang lain, kajian Fiqh sebagai ilmu pokok yang dipelajari di pondok merupakan Fiqh yang diwarnai oleh pikiran-pikiran sufisme atau Fiqh sufistik. Oleh sebab itu, integrasi ilmu-ilmu di atas serta proyeksi pembentukan karakter terhadap para santri bisa mengarahkan pada kesuksesan hidup para lulusannya.

Dengan pola seperti ini, diyakini pula akan memunculkan sikap mental positif dalam diri santri sehingga akan membentuk sebuah sikap kolektivitas yang menjadi dasar terwujudnya culture value system (sistem nilai budaya). Yaitu suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari seluruh santri, mengenai tidak saja apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Dengan demikian, sistem nilai budaya tidak saja berfungsi sebagai suatu pedoman tetapi juga suatu pendorong kelakuan santri dalam kehidupannya, sehingga berfungsi juga sebagai suatu sistem tata kelakuan; malahan sebagai salah satu sistem tata kelakuan yang tertinggi diantara yang lain, seperti hukum adat, aturan sopan santun dan sebagainya.

Di dalam fungsinya sebagai pedoman kelakuan dan tata kelakuan, maka sama halnya dengan hukum. Suatu sistem nilai budaya itu seolah olah berada di luar dan di atas diri individu dalam komunitas sosial pesantren yang bersangkutan. Para santri yang telah diresapi dengan nilai-nilai budaya dan etika tersebut, sukar sekali untuk diganti dengan nilai-nilai budaya dan etik yang lain dalam waktu yang singkat.

Memperhatikan serentetan proses integrasinya unsur-unsur pembentuk sub-kultur di pesantren sebagaimana tersebut di atas, di dua pesantren ini, budaya-budaya yang hidup yang tampak di komunitas sosial dayah/pesantren ini diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, budaya disiplin santri yang tercermin dari kebiasaan mereka mengikuti kegiatan-kegiatan dayah/pesantren.

Dalam pembasan lain terkait dengan dayah/pesantren telah digambarkan secara detail, bagaimana santri mengikuti shalat jama’ah maktubah. Sejak adzan dikumandangkan sampai prosesi shalat, hingga terakhir menyelesaikan wiridan dengan doa bersama. Selain itu, budaya disiplin ini terlihat juga pada kegiatan-kegiatan lain seperti pelaksanaan belajar, kegiatan roan, bersih-bersih lingkungan. Meski masih ada santri yang kurang memperhatikan budaya ini, tetapi secara keseluruhan budaya positif ini cukup mewarnai aktivitas keseharian santri.

Budaya mandiri juga dapat disaksikan pada komunitas santri di dayah/pesantren. Beragam aktivitas dilakukan oleh para santri, ketika mengisi waktu luangnya. Kemandirian serta tanggung jawab yang terbenam di dalam sikap mental mereka, mampu mengarahkan aktivitas mereka lebih fungsional bagi kesuksesan mereka dalam meraih cita-citanya. Itu artinya, tidak banyak santri yang memanfaatkan waktunya sebatas untuk bermalas-malasan. Namun, mereka menggunakannya sesuai dengan kebutuhan pribadinya yang sekira menunjang keberhasilan belajarnya.

B.       Model dan Corak Budaya Pendidikan Dayah/Pesantren

Yang menjadi salah satu Ciri khas dari dayah/pesantren adalah semua murid (santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang teugku, ustad/kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok. Pondok, atau tempat tinggal para santri merupakan ciri khas dari tradisi dan sistem pendidikan pesantren dengan lemaga pendidikan serupa lainnya baik di dalam ataupun di luar negeri. Seperti halnya yang dilakukan pada negara Afganistan, para murid dan guru yang belum menikah mereka semua tinggal di masjid.

Istilah pondok di dayah/pesantren  dengan berasrama menurut Saefudin Zuhri berbeda, beliau secara tegas membedakan bahwa pondok bukanlah ”asrama” atau internaat, menurutnya jika asrama telah disiapkan bangunanya sebelum calon penghuninya datang, dan biasanya asrama di bangun oleh kalangan berada dengan keadaan ekonomi yang mapan. Sedangkan pondok justru didirikan atas dasar gotong royong dari santri yang telah belajar di pesantren dengan dibantu oleh masyarakat yang nota bene mereka termasuk kategori ekonomi yang pas-pasan. Maka tak heran hubungan santri atau masyarakat dengan dayah/pesantren mempunyai ikatan yang sangat erat, karena adanya rasa memiliki pada lembaga dayah/pesantren tersebut, hal ini berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.

Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan dayah/pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari teungku/kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap.

Kedua, hampir sebagian besar dayah/pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta tidak tersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dengan teungku/kyai, dimana para santri menganggap tengku/kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan teungku/kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.
Selain itu kelebihan dari model pondok ini adalah, terciptanya suasana lingkungan belajar yang kondusif, semangat belajar, keakraban antara santri dengan santri, juga antara santri dengan kyai atau guru, kemandirian, tanggung jawab dan pengawasan 24 jam baik dari antar santri ataupun dari teungku/kyai, serta masih banyak lagi keunggulan dari pendidikan model pondok. Maka tak heran pada akhir-akhir ini kemudian banyak bermunculan lembaga pendidikan formal yang meniru dengan lembaga pesantren yang didirikan oleh para teungku/kyai, hal ini setidaknya dapat dilihat dari munculnya istlilah boarding school (kelas asrama) pada beberapa lembaga pendidikan formal baik yang negeri ataupun swasta.

a.    Masjid
Kedudukan mesjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi dayah/pesantren merupakan manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya.

Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling feresantatif untuk menyelenggarakan pendidikan.

Secara etimologis menurut M. Quraish Shihab, masjid berasal dari bahasa Arab ”sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah SWT. Masjid memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya, juga sebagai tempat pengajian terutama yang masih memakai metode  sorogan dan wetonan (bandongan).

Posisi Masjid di kalangan dayah/pesantren mempunyai makna sendiri. Menurut KH. Abdurahman Wahid, masjid sebagai tempat untuk mendidik dan menggembleng santri agar lepas dari hawa nafsu, keberadaannya ditengah-tengah komplek pesantren adalah mengikuti model wayang. Di tengah-tengah ada pegunungan. Hal ini sebagai indikasi bahwa nilai-niali kultural masyarakat setempat dipertimbangkan untuk dilestarikan oleh dayah/pesantren.

b.   Santri
Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia dayah/pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori.

Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Ketika hendak berniat untuk bermukim, santri tidak perli disibukan dengan membawa perlengkapan tidur seperti layaknya dirumah. Karena dalam lingkungan pesantren sudah ditanamkan kesederhanaan dan tanggungjawab. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di dayah/pesantren terebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga bertanggungjawab mengajar santri –santri yunior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren.mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri. Para santri kalong berangkat ke dayah/pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim daripada santri kalong, maka pesantren tersebut adalah pesantren besar. Dan sebaliknya, pesantren kecil memliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.
c.    Pengajaran kitab kuning di dayah/pesantren
Kitab kuning adalah ungkapan dari beberapa kitab klasik yang sering dikaji dan dipelajari oleh para santri dan teungku atau kiayi. Biasanya kertas-kertas pada kitab yang dikaji sudah lama usianya akan berubah menjadi kuning, oleh karenanya istilah kitab kuning ini muncul.

Yang biasanya dikaji dalam dunia pesantren adalah kitab-kitab klasik madzhab syafi’i dalam bentuk bahasa arab tanpa disertai harakat, kitab ini juga sering disebut dengan kitab gundul. Hal ini adalah merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam komunitas pesantren di Indonesia khususnya Jawa, Madura dan  Aceh.

Sebagian besar pondok pesantren/dayah  yang terdapat di daerah  Jawa. Madura dan Aceh  Madura dan Aceh masih menggunakan dan melestarikan pendalaman Kitab Kuning, walaupun pada perkembangannya banyak juga pondok pesantren yang menambah atau merubah kurikulum dengan tidak melulu mengkaji dan mempelajari kitab kuning. Kitab-kitab kuning yang sering diajarkan pada pondok pesantren secara garis besar dapat dibagi menjadi delapan (8) kelompok: 1. Nahwu dan Sharaf (sering diistilahkan dengan ilmu alat); 2. Fiqh; 3. Ushul Fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan etika; dan 8.cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.

Terdapat dua model yang digunakan dalam pengkajian kitab kuning, model pertama adalah sorogan, santri satu persatu secara bergantian mengaji atau membaca kitab tertentu dengan teungku/kyai secara langsung. Dimana peran teungku/kyai dalam model ini sebatas hanya menyimak bacaan yang dibacakan oleh santri dengan disertai penjelasan, di sini peran santri harus aktif dalam proses pembelajaran. 

Kedua, bandongan, pada model kedua ini peran teungku/kyai sangat aktif dalam proses pembelajaran, di sini teungku/ kyai membaca salah satu kitab disertai dengan penjelasan dengan diikuti oleh sebagian besar santri yang ikut menerjemahkan kitab yang dibaca oleh teungku/kyai. Dan biasanya bahasa yang sering digunakan dalam menerjemahkan kitab adalah bahasa Jawa dan daerah.

Peran dan keberadaan pondok pesantren/dayah sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan dayah/pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam. Menurutnya dalam sejarah tradisi intelektual Islam pada mulanya adalah melahirkan pakar-pakar ilmu agama, seperti Ibn Abbas dalam tafsir, Abdullah ibn Mas’ud dalam fiqh dan lain sebagainya.

C.  Etika Berbasis Dayah/Pesantren                                               
 Menurut sejumlah masyarakat, pondok pesantren adalah sebuah tempat dimana seseorang bisa berubah. Maksud dari kata berubah ialah bahwasanya seseorang yang dulunya mempunyai etika yang buruk kemudian setelah lama hidup di dayah/pesantren dia mempunyai etika yang baik. Di dayah/pesantren seseorang tak hanya dituntut mencari ilmu saja tetapi mereka disana juga belajar masalah etika,hal itulah yang membuat etika mereka menjadi lebih baik.                 

Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, di Aceh sebutan Teungku, ustad/Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan. Teungku/Kyai pun tak hanya mengajar para santri saja, teungku/kyai juga mengawasi etika dan perilaku para santrinya.

Berdasarkan teori, pondok pesantren merupakan tempat untuk mengendalikan, mengawasi perilaku seseorang atau dalam teori disebut pengendalian institusionalPengendalian institusional; yaitu pengaruh yang ditimbulkan dari adanya suatu institusi atau lembaga. Pola perilaku lembaga tersebut tidak hanya mengawasi para anggota lembaga itu saja, akan tetapi juga mengawasi dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di sekitar lembaga tersebut berada.

Di dayah/pesantren seseorang dikendalikan oleh aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpinya yaitu teungku/Kyai. Mereka para santri wajib mematuhi peraturan yang ada di pondok pesantren. Ketika ada seorang santri yang melanggar peraturan tersebut maka dia akan dikenai sanksi dengan apa yang dia lakukan. Semisal seorang santri yang tidak mengikuti pengajian teungku/kyai dan ketahuan dia akan di hukum untuk membaca al-quran atau kalau tidak disuruh membersihkan kamar mandi santri.

Ketika seorang santri melakukan pelanggaran yang berat maka santri tersebut bisa dikeluarkan dari dayah/pesantren. Biasanya para santri tidak akan melanggar aturan tersebut karena hukuman-hukumannya yang berat melainkan para santri takut kalau ilmunya tidak akan manfaat suatu hari nanti karena tidak dirizhai oleh teungku/Kyainya. Disamping seorang santri mematuhi peraturan-peraturan,mereka juga meniru etika dan perilaku Kyai karena Kyai adalah sosok yang idola bagi para santri. Hal itu kalau dalam teori psikologi disebut ModellingModeling atau peniruan merupakan "the direct, mechanical reproduction of behavior, reproduksi perilaku yang langsung dan mekanis.

Mereka meniru etika dan perilaku teungku/Kyai juga karena mereka menganggap apa yang dilakukan teungku/Kyai adalah baik menurut agama dan baik menurut masyarakat. Para santri biasanya pergi mondok karena disuruh oleh orang tua mereka. Mereka disuruh oleh orangtua mereka karena banyak motif. Ada orang tua yang ingin memondokan anak-anaknya agar anaknya mendalami ilmu agama dan juga ada yang ingin agar anak-anaknya memiliki etika yang lebih baik ketimbang anak-anak yang tidak mondok. Anak-anak yang tidak mondok di dayah sangat berbeda dari pada anak-anak yang mondok. Entah itu masalah keilmuan atau masalah etika.

Dizaman globalisasi ini sangat banyak anak-anak yang memiliki etika yang buruk karena mereka tidak diajarkan ilmu agama dan etika yang baik sejak dini. Dan mereka jarang sekali memiliki seorang panutan yang baik menurut masyarakat dan baik menurut agama bagi kehidupan mereka. Biasanya panutan anak-anak zaman sekarang kalau enggak para artis ya pemain sepak bola. Itulah perbedaan antara anak yang mondok dan anak yang tidak mondok. Oleh karena itulah para orangtua lebih memilih memondokan anak mereka ketimbang membiarkan mereka dirumah dan bermain bersama teman-temannya.

Etika seseorang yang buruk bisa berubah menjadi baik karena di pondok. Etika atau pun sikap bukanlah sebuah bawaan tetapi etika tercipta karena seseorang berinteraksi dengan lingkungan mereka. Faktor-faktor etika dan sikap seseorang bisa berubah adalah karena lingkungan. Pondok merupakan salah satu faktor tersebut. Pondok adalah sebuah institusi atau lembaga pendidikan agama Islam di dayah/pesantren. Institusi berfungsi meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman baik dan buruk, salah atau benar, yang menentukan sistem kepercayaan seseorang hingga ikut berperan dalam menentukan sikap seseorang.





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pendidikan merupakan sebuah proses untuk mengangkat harkat, martabat dan kesiapan manusia dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan, serta mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan. Pendidikan sebagai usaha untuk mentransfer nilai-nilai budaya Islam dan etika yang kepada generasi muda muslim. Pendidikan juga merupakan proses transformasi budaya dan etika. Salah satu tempat untuk mentransformasi budaya, etika dan keilmuan adalah lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Dayah merupakan salah satu lembaga pendidikan dan tempat pewarisan serta cerminan budaya dan etika yang baik dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dayah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi masyarakat Indonesia. Keberadaan dayah memiliki sejarah yang panjang, mengakar kuat dalam masyarakat, baik dalam pola kehidupan sosial, budaya,etika dan keagamaan. Dayah juga merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam yang mengajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dengan menekankan kepada pentingnya moral agama sebagai pedoman hidup dalam masyarakat. Dayah adalah lembaga pendidikan pertama dan tertua bagi umat Islam serta tempat mempelajari kitab-kitab klasik.

Dayah juga merupakan salah satu tempat untuk menuntut ilmu dan mengembangkan pengetahuan serta budaya. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan dan berpengaruh terhadap perubahan sosial. Melalui pendidikan diharapkan bisa dilahirkan generasi penerus yang mempunyai karakter untuk mampu menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Arif , Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Idea Press,  Yogyakarta, 2009)
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Logos Wacana Ilmu, Jakarta , 1999)
Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial (Studi Atas Pemikiran KH. Abdullah Syafi’ie dalam Bidang Pendidikan Islam. (Penamadani, Jakarta 2003)
Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,  (LP3ES, Cet.III Jakarta 1982)
Zamakhsyari, Dhofier, Tradisi pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,(LP3ES, Jakarata, 1982)
Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Pustaka Pesantren: Yogyakarta, 2005)
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. (Listafariska Putra, 2005)
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,  (CV Tumaritis,    Jakarta   1991)
Ali  Hasjmy. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia. (Bulan Bintang, Jakarta 2005)
Nurcholish. Madjid,. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. (Madina, Jakarta  1997)
Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren.(INIS, Jakarta: 1994)
In’am. Sulaiman, Masa Depan Pesantren: Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang Modernisasi. (Madani, Malang: 2010)

===============================================

Itulah beberapa pembahasan singkat mengenai makalah Budaya dan Etika Dayah yang bisa saya rangkum dengan penuh ketelitian dalam pengambilan sumber dan juga dalam teknik penulisannya, dan bila ada kekurangan dalam pembahasan tersebut sobat bisa berikan kritik dan saran yang bersifat membangun di dalam kolom komenta di bawah sini. Namun untuk itu bila sobat memiliki banyak waktu kunjugi juga Model Karakter Pendidikan di Dayah Salafi dan siapa tau nantinya sobat juga membutuhkannya


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Makalah Budaya dan Etika Dayah"